Di PGI, Kelompok Terpinggirkan Bersuara Soal SKB 3 Menteri, Diskriminatif dan Dialog

Diskusi Refleksi Akhir Tahun Kelompok Masyarakat Terpinggirkan, Grha PGI lantai 3, Salemba, Jakarta Pusat (28/12/2023). Foto : erdeha.

BAHTERApost.com –  “Moderasi beragama belum menyentuh akar permasalahan. Perizinan beribadah, bully, pendidikan, persetejuan rumah ibadah berdasarkan warga setempat, pendidikan dalam pemaksaan pakaian. Keadilan bukan harmoni dan kerukunan, tetapi yang diperlukan bagi kami dan kelompok termarginalkan tentang kepastian hak-hak beribadah salah satunya. Bukan hanya tangggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama. Toleransi tidak menyelesaikan masalah, karena sudah ada sejak lama. Tetapi yang paling penting, semua agama bicara dan melakukan  tentang kasih, sukacita, dan damai,” jelas Yendra dari Ahmadiyah, diacara refleksi akhir tahun bertajuk Kelompok Masyarakat Terpinggirkan, Grha lantai 3 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Salemba, Jakarta Pusat (28/12/2023).

Hal senada juga disampaikan Penganut Kepercayaan dan Agama Lokal. Salam Rahayu itu ucapan dari kelompok kami, kata Engkus Riswana membuka percakapan setelah diberi giliran oleh moderator Pdt. Rosi.

Engkus menceritakan sejarah, tentang penganut kepercayaan yang sebelum tahun 1970 -an umat ini banyak, tetapi stigma komunis diletupkan penguasa rezim Orba kala itu.  Awal tahun 1970 – an banyak umat kepercayaan ini duduk di DPR dan partai politik, tetapi orba memberangusnya juga. Era reformasi, tepatnya tahun 2012  penganut kepercayaan bisa dibuka lagi, ungkapnya.

Namun di era itu, rekrutmen pegawai,  kementerian (BUMN dan Pertahanan), ditambah TNI AU, AL  belum bisa menerima pegawai. Bahkan, di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) penganut kepercayaan tidak ada, tegasnya.

Hal ironis lainnya, disampaikan Aan  dari komunitas HIV AIDS, bahwa orang berpenyakit dan gejala HIV, jumlahnya mencapai 515.000 orang. Yang mana, 55 persen belum menjalani pengobatan, dan 45 persen sudah menjalani pengobatan. Lebih ekstrim lagi, tambah Aan orang HIV tak boleh naik haji, dan tidak bisa bekerja secara normal di kementerian, walaupun di kemenaker diperbolehkan, tetapi di kemenkes masih menjadi kendala.

Sedangkan Andreas Harsono dari  KBB di sekolah, lebih menyoroti tentang  37 aturan jilbab, perundungan terhadap siswa dengan siswa, dan guru. Masih adanya diskriminasi yang terjadi di lembaga pendidikan.

Pdt Ronny sebagai Ketua PGI Papua, dalam diskusi refleksi akhir tahun di PGI, berbicara tentang eskalasi pelanggaran HAM atas kekerasan bersenjata di Papua, antara KKB dengan Polri dan TNI.  Menurut Roni, pendekatan keamanan di Papua tidak akan menyelesaikan masalah. Yang terjadi malah semakin meluas. Justru yang perlu dilakukan, pendekatan humanis dan dialog. Pasalnya, di Papua, saat ini hanya ada dua ; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Roni melanjutkan, bahwa tahun 2018 sampai 2021, kekerasan yang terjadi di Papua (pegunungan dan pedalaman), gereja-gereja lokal melalui 3 keuskupan dan 5 sinode  mencatat ada 60 ribu pengungsi  didominasi  anak-anak dan perempuan.

Yang terjadi Papua, kata Roni, saat ini masih terjadi bencana sosial (konflik kekerasan). Padahal, Presiden jokowi sidah 19 kali berkunjung ke Papua, dan menggelontorkan dana bebegitu banyak, tetapi anehnya pembangunan tidak menyentuh dan dirasakan sama sekali oleh warga Papua. Karena yang ada di Papua, saat ini penduduk asli hanya 2 juta, sedangkan penduduk non asli Papua lebih dari 2 juta, bandingkan dengan dengan negara tetangga dari papua, New Guinew yang berjumlah 7 juta jiwa dan warga aslinya merasakan bantuan dan pembangunan yang diberikan negaranya.

Yang jelas dan pasti, suara-suara kelompok terpinggirkan perlu terus digaungkan, agar menjadi perhatian pemerintah dan kita semua.

(ronaldy)

 

 

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*