Jakarta, BAHTERAPOST.COM – “Lalu saya katakan kepada pelayan Tuhan atau pendeta yang melayani di Desa-desa. Kalian tenang saja, kami bangun gereja yang representatif : Dari tembok, seng, lantai keramik plafon, listrik masuk, kamu tinggal cari jiwa, dan jaga jiwa. Itu saya katakana kepada pelayan Tuhan GPDI di desa-desa. Puji Tuhan selama 5 tahun ini sudah terbangun 300 gedung GPDI yang representatif di desa seluruh Indonesia. Kenapa baru 300? Karena, kami tidak punya uang banyak, dan itu realistis. Dana itu juga berasal dari sponsor.”Begitulah salah satu penggalan kalimat Ketua Umum Majelis Pusat (MP) GPDI , Pdt. Dr. Jonny M. Weol, M.M., M.Th dalam dialog bertajuk silaturahmi bersama sejumlah media yang tergabung dalam wadah Perkumpulan Wartawan Media Krististiani (Perwamki) di Kantor MP GPDI, Sunter – Jakarta Utara, belum lama berselang.
Baca Juga : Dibuka Koordinator GKPI Wilayah XI Pdt. Hasintongan Gurning, M.Min, Raker Mantapkan Tahun Pelayanan Pastoral 2022 Siap Diwujudkan
Terkait itu “Karakteristik Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) banyak berada dan tersebar di daerah-daerah terutama di Desa-desa. Makanya GPDI tidak berjibaku atau berkompetesi di kota-kota, tetapi kami (Baca : GPDI) menjangkau Desa. Prinsip dan slogannya, dimana ada manusia di situ harus dilayani, dengan catatan selama ada jiwa di sana, dan tentu sudah percaya Tuhan Yesus harus dilayani, 1,2 , 10, atau 30 jiwa,” tuturnya.
Pdt Jonny Weol, menyatakan darimana tenaganya? GPDI itu memiliki hampir 30 Sekolah Alikitab. Tersebar di Palembang, Beji, Cianjur, Langowan. Dengan jumlah siswanya per sekolah Alkitab di masa pandemi ada yang 200 sampai 300, tetapi kami menerapkannya belajar tatap muka dengan prokes ketat.
Karena GPDI punya metode baku yang tetap dan masih digunakan. Metode itu sudah hampir 90 tahun usianya. Caranya, Sekolah Alikitab GPDI yang tidak ada gelar akdemiknya ini menekankan tentang belajar Alikitab, pembinaan mental, pembinaan spiritual dan penggodokan-penggodokan, dan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan, jelasnya.
“Makanya pendeta di GPDI itu setelah tamat Sekolah Alkitab, ia boleh melayani di belakang mimbar, tetapi dia juga harus siap juga membersihkan gedung gereja juga. Jadi tidak ada istilah saya ini sudah pendeta, nggak. Nah pembinaan mental seperti inilah, yang jadi modal ketika ia dilepas ditengah hutan, makan gak makan, haruslah ia tetap melayani Tuhan. Karena selama ini tidak ada pendeta yang mati kelaparan, malah yang paling banyak mati kekenyangan.
Pdt Dr. Jonny Weol M.M., M.Th mengisahkan di kepimppinnnya ada seorang pelayan Tuhan yang melayani di desa kabupaten Jepara, saat itu saya yang meresmikan Gereja (baca : GPDI) saya pergi malam-malam, dan saya meresmikan GPDI yang berasal dari dana sponsor itu. Kemudian pelayan Tuhan itu datang bersama istrinya, membawa bawa bakul, berisi pakaian dan ia menyewa kendang, dan tinggal dikandang itu, setelah itu kami tulis di kendang itu, menerima pengobatan gratis, lalu saya tanya? Kamu tahu medis, tidak katanya. Caranya dengan didoakan, dan malamnya yang datang itu seteklah didoakan sembuh. Maka banyak orang datang dan jemaatnya bertambah. Itu semangat, jelas Sitanggang seperti dituturkan Pdt Dr. Jonny Weol M.M, M.Th.
(ronaldy)
Be the first to comment