Jakarta, BAHTERAPOST – Ada seribu alasan pemerintahan Jokowi melalui Menkopolhukam melabelkan Kelompok Kriminial Bersenjata (KKB) sebagai teroris. Gedung sekolah dibakar, guru dibunuh, dan warga sipil banyak menjadi korban dari kebengisan dan kebiadaban KKB, tutur Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Papua dan Papua Barat Frans Ansanay, ketika ditemui Bahterapost di kawasan Pramuka Jakarta Timur, belum lama berselang.
Baca Juga : Meredam Isu Kemerdekaan, Frans Ansanay : Presiden RI ke 5 Megawati Mampu Memberi Solusi Bagi Papua Lewat Pemekaran Provinsi
LANJUT Frans yang selalu berpenampilan tenang dan bersahaja. “Bahwa, hal ini juga memudahkan dan mendeteksi gerakan KKB, serta para sponsor yang mendukung gerakan ini siapa saja. Mata rantai ini bisa dibuka, dan nampaknya sudah kelihatan,”tegasnya.
Pertama, label teroris yang dikeluarkan pemerintah itu hanya kelompok (KKB) yang buat kerusuhan dan membunuh warga sipil tak berdosa. Artinya tidak benar semua orang Papua. Cuman diksi dan narasi yang dikembang anti pemerintah (KKB), bahwa semua orang Papua sudah dilabelkan teroris. Artinya ada ajakan dan seruan dari KKB supaya melawan pemerintah, karena diksi yang diserukan KKB selalu mendengung terus. KKB juga menyebut bahwa gen0side akan dilakukan pemerintah Indonesia, karena label teroris bagi orang Papua, sengaja dihembuskan KKK, tandasnya.
Kedua, kok bisa seperti di daerah Intan Jaya, dan Duga, dari info medsos, bahwa pihak sebelah menyebut itu daerah tambang. Kenapa pemerintah mengirimkan jumlah pasukan keamanan yang begitu besar? Seharusnya, jika benar di wilayah itu ada tambang, yang dikelola untuk kepentingan negara, maka warga sipil yang melekat hak ulayat diikutsertakan sebagai pemegang saham. Harapan sebagai pemegang saham kepada warga sipil di wilayah itu, tidak menjual tanah tersebut, melainkan terus mengembangkan dan mewariskan kepada anak cucunya sebagai pewaris di negeri ini.
Ketiga, isu Papua ada di generasi ke empat atau milenial, yang canggih dan piawai bermain ditataran medsos , khususnya diwilayah konflik dari SD sampai Perguruan Tinggi. Frans mencontohkan ada siswa SD menggambar dua bendera, yang satu bintang kejora, satunya lagi merah putih. Kemudian gurunya (yang bukan asli Papua) menanyakan, ini bendera siapa? Dengan lantang si anak SD itu menjawab, kalau bendera bintang kejora punya saya, bendera merah putih itu punya bapak saya.
Hal lainnya dan perlu diwaspadai adalah adanya gerakan anti terhadap negara Indonesia di generasi milineal yang cukup tinggi. Solusinya, Pemerintah harus dan wajib melakukan operasi kesejahteran kepada generasi milineal tersebut, melalu berbagai cara yang bermanfaat. Pasalnya, sebagian besar, di depan mata mereka, orang tuanya dipukul, ditembak ditendang, lalu mereka keluar dan bersekolah di kampus-kampus luar Papua, terutama di pulau Jawa, milineal daerah konflik itu memainkan isu melalui medsos.
Keempat, mungkin orang tuanya tidak mengalami penyiksaaan, tetapi mereka terbelakang dalam segi ekonomi dan studinya di seluruh kampus di Indonesia, tanpa didukung bantuan dari dana otsos. Mereka (milineal) ini harus berkelana, butuh tempat tinggal, uang makan, SPP. Apalagi kuliah di masa pandemi Covid -19, butuh uang pulsa untuk paket internet.
Menjawab hal tersebut, pemerintah pusat dan daerah melalui departemen pendidikan lewat dana otsos . Supaya, ketika pemerintah menjawabnya dengan ekskusi yang nyata dan terbukti, maka pikiran generasi milineal yang miskin dan serba terbatas, bisa dibantu nyata dan jelas oleh pemerintah, maka untuk anti pemerintah Indonesi, mereka akan menguburnya.
Frans pun memberi contoh nyata dan pernah membantu, kepada mahasiswa yang hampir kena DO, dan itu dibantunya hanya sekali, oleh Dirjen Dikti melalui dana beasiswa ADI. Padahal bantuan itu bukan hanya sekali karena ada tahapan dijenjang semester berikut, speerti membayar uang kuliah dsb. Itu harus diredam, sehingga tidak ada lagi pikiran dari generasi milenial, bahwa daerah kami di Papua kaya, tapi kok miskin. Generasi yang berpikir seperyi ini rentan untuk dicuci otaknya oleh KKB.
Kelima, bahwa generasi milineal ini terkooptasi oleh temuan LIPI, bahwa ada pelanggaran HAM dan perbuatan melanggr hukum. dan, itu dilakukan pemerintah. Temuan LIPI itu menjadi referesni, dan menjadi acuan KKB untuk memisahkan diri dari Indonesia, urainya.
Terkait hal tersebut, boleh dibilang solusi jangka panjang, Ketua bamus Papua dan Papua Barat Frans pemekaran provinsi Papua, jangan mencla mencle, tapi Presiden lakukan eksekusi dengan mengeluarkan Perpu. Dananya, bisa diminta dari Freport, atau melalui DAU sebesar 2,25 persen, dijamin dengan kondisi tersebut bisa membangun provinsi baru hasil pemekaran. Sebab, semakin lama lamban menangani masalah pemekaran, maka eskalasi permasahalannya menjadi besar dan tinggi.
Paling penting juga, soal ratifikasi UU Otsus memeberikan kekdudukan hukum yang pasti bagi orang Papua, hak politik dan birokrasinya dijamin UU NKRI. Supaya mereka (Papua) bisa membangun Indonesia, bukan memusuhi Indonesia, pungkasnya.
(Naldy)
Be the first to comment